ilustrasi kebersihan
Kata buang hajat merupakan rangkaian kata dalam bahasa Indonesia yang diperhalus. Kata tersebut untuk menyatakan sebuah perbuatan manusia dalam membuang kotoran bekas makan dan minumnya, berupa kotoran feses (buang air besar) dan air seni (buang air kecil).
Pada beberapa daerah di pulau Jawa, istilah buang hajat dinyatakan dalam kata, berak, beol, ngising (Jawa) dan kabeuratan (Sunda). Pun demikian tempat untuk membuang hajat dapat disebutkan dalam berbagai istilah, yaitu: jamban dan kakus.
Istilah ini dipakai untuk menamakan sebuah tempat khusus untuk buang air besar terutama dan dibuatkan bilik untuk penutup yang di bawahnya dibuatkan lubang untuk penampungan tinja.
Pada umumnya, toilet model seperti ini hanya sedalam 2-3 meter dan tidak dilengkapi dengan air yang banyak untuk membasuh kotoran yang masih menempel di badan.
Setelah penuh akan ditutup dan ditimbun dengan tanah, lalu dibuatkan lubang di tempat lain dengan model yang sama.
Masalahnya, bau dari tinja yang ada, tidak dapat dihindari. Bau tinja semakin khas apabila memasuki masa kemarau.Setiap pagi dan sore masyarakat di Surakarta pergi ke kali atau sungai untuk mandi, cuci dan buang hajat bahkan untuk mengambil air pun, masyarakat Surakarta berada di sungai.
Sungai menjadi jantung kehidupan masyarakat. Bagi masyarakat Cina di Batavia, mereka terbiasa membuang hajat di sawah yang mana kotoran tersebut dimaksudkan untuk sebagai pupuk.
Dalam hal MCK, mengetahui dan melihat tubuh antara satu penduduk dengan penduduk lain sangat biasa termasuk juga untuk para perempuan.
Mandi bersama di sungai atau di pinggiran kali merupakan hal yang umum ditemukan hampir di seluruh Hindia Belanda.
Ketika mandi bersama, lelaki perempuan tersebut hanya berbatas batu atau rerimbunan daun agar tidak terlihat satu sama lainnya. Tetap ada juga yang tanpa pembatas, hanya yang membedakan laki-laki mandi berada di utara sungai, dan perempuan berada di selatan sungai.
Hal ini tentu saja tidak lepas dari pertimbangan secara praktis dan kemudahan. Tanpa menggunakan biaya yang cukup mahal untuk memiliki air yang higienis untuk membersihkan tubuh, masyarakat hanya menggunakan sisa-sisa mata air yang digunakan oleh masyarakat kolonial.
Pada pinggiran sungai lainnya, terdapat bilik-bilik bambu yang digunakan sebagai toilet. Toilet tersebut pada umumnya berada di kawasan hilir sungai yang bukan di daerah hulu sungai.
Bagi masyarakat yang menempati kawasan pedalaman yang cenderung jauh dari sungai, terdapat sumur-sumur umum yang digunakan untuk mengambil air. Hanya saja sumur-sumur tersebut tidak dipergunakan untuk mandi, cuci, buang hajat.
Di sumur-sumur tersebut hanya dipergunakan untuk mencuci nasi ataupun membersihkan barang-barang dapur lainnya.
Baca Juga:
- Propaganda Kebersihan Masyarakat Surakarta di Era Hindia Belanda
- Rekayasa Saluran dan Arus Air dalam Prasasti Tugu
- Jugun Ianfu: Perbudakan Seksual Wanita Indonesia Pada Jaman Pendudukan Jepang
Di Surakarta terdapat beberapa sumur yang menjadi sumber mata air masyarakat sekitar. Ada yang berupa sumur bor dan sumur galian, yang diperuntukkan secara umum.
Sumur-sumur tersebut sangat dijaga kebersihan dan kelestarian airnya. Terkadang untuk menunjukkan bahwa sumur tersebut terjamin kebersihannya dan memberi berkah bagi yang mengambilnya, mereka membuat dongeng-dongeng terkait keberadaan sumur ajaib.
Kuntowijoyo dalam Raja, Priyayi, dan Kawula kemudian mengkaitkan cerita tersebut dengan tumbuh dan majunya Sarekat Islam dan agama Islam di Surakarta.
Namun, bila ditelisik lebih dalam, penggunaan kata sumur merupakan sebuah indikasi bahwa sumber-sumber mata air merupakan sesuatu hal yang penting bagi masyarakat Surakarta.
Karena pada umumnya tidak semua orang yang mampu memiliki sumur di rumahnya, Lantas bagaimana dan di mana cara masyarakat Surakarta mandi dan buang hajat pada abad ke-20?
Orang Surakarta memiliki kebiasaan membuat bilik yang berisi kubangan yang dibentuk memanjang. Bilik itu terbuat dari bambu untuk sekedar menutup dan menghalangi pandangan orang lain.
Masyarakat Surakarta menyebut bilik tersebut dengan nama jumbleng. Bilik tersebut terbuat dari anyaman bambu yang direkatkan satu sama lainnya. Terkadang anyaman bambu tersebut hanya diikat atau di taruh di kanan kiri dan dimuka orang yang buang hajat tersebut.
Penggunaan bambu sebagai media penghalang tidak lepas dari faktor kepraktisan dan kemudahan. Bambu merupakan bahan yang mudah didapat, bambu terdapat di sekitar sungai, di tengah perkampungan.
Jumbleng tersebut tidak hanya di buat di kawasan kering, akan tetapi juga dibuat di sepanjang kali maupun embung-embung buatan yang di dalamnya terkadang terdapat ikan peliharaan.
Pada umumnya jumbleng tersebut berada dan dibuat di belakang rumah, hanya pada daerah-daerah tertentu saja peletakannya berada di depan rumah, seperti halnya masyarakat Kudus.
Pada masyarakat Kudus, peletakan jamban tidak berada di belakang sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Surakarta. Mereka meletakkan jamban halaman depan rumah.
Ada beberapa alasan bagi masyarakat Kudus berprilaku demikian, yang pertama adalah menjaga kebersihan rumah merupakan sebuah kewajiban, sehingga dengan adanya jamban yang berada di halaman, maka sebelum masuk rumah dapat mensucikan diri dan tubuh mereka dari pelbagai kotoran yang mengenai tubuh mereka.
Kedua, jamban tersebut sebagai alat kontrol publik terhadap setiap masyarakat yang mendiami kawasan Kudus agar tidak telat bangun untuk sholat subuh, karena bagi warga setempat, telat sholat subuh merupakan sesuatu perbuatan yang memalukan.
Sedangkan bagi mereka yang bertempat tinggal di pingir kali dan sungai, maka jamban/toilet yang mereka gunakan pada umumnya berupa bilik-bilik kecil yang terletak di pinggir sungai.
Penggunaan dan pembuatan bilik-bilik tersebut hanya diperuntukkan bagi remaja dan orang-orang dewasa.
Bagi anak-anak, tempat mandi dan buang hajat berupa papan pendek yang terbuat dari kayu. Masyarakat setempat menyebutnya dengan nama papan gladak. Di tempat tersebut mereka mandi dan buang hajat, dengan bantuan orang tua.