ilustrasi Kartini
Kata perempuan berasal dari kata empu, yang bermakna dihargai, dipertuan, atau dihormati, sedangkan kata wanita berasal dari wan yang berarti nafsu, dalam Bahasa Jawa (Jawa Dorsok) kata wanita berarti berani ditata.
Menurut S. Margana dan Nursam dalam buku Kota-Kota di Jawa: Identitas, Gaya Hidup dan Permasalahan Sosial, karakter perempuan Jawa sangat identik dengan budaya Jawa seperti bertutur kata halus, tenang, diam (kalem), tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai-nilai kekeluargaan, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi dan setia.
Beberapa ciri khas orang Jawa lainnya yaitu sabar lan neriman (sabar dan menerima dengan lapang dada).
Sikap tersebut membuatsebagian besar perempuan Jawa selalu menerima apa yang telah menjadi kodratnya sebagai seorang perempuan.
Meskipun hal itu justru membuat perempuan Jawa cenderung dianggap lemah kedudukannya jika dibandingkan dengan laki-laki.
Ada beberapa konsepsi paternalistik yang berkembang dalam masyarakat Jawa bahwa perempuan Jawa sebagai istri adalah konco wingking.
Istilah konco wigking tersebut berarti bahwa perempuan berada di belakang laki-laki. Seolah kedudukan perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Cora Vreede-de Stuers dalam buku Sejarah perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaianya menulis, pada masa penjajahan, ada beberapa peraturan yang mengekang warga Indonesia sehingga menciptakan sebuah kelas-kelas tertentu.
Salah satu dari peraturan itu mengatakan bahwa, seorang yang terpandang dalam masyarakat dan menjabat sebagai pemimpin harus menikahi seorang yang berdarah ningrat juga.
Dari sini dapat disimpulkan ada kelas-kelas tertentu yang mempunyai keistimewaan, sedangkan para kaum pribumi yang tak mempunyai kekuasaan hanya dapat menerima apa yang di tentukan oleh pihak penjajah.
Sehingga dengan adanya peraturan tersebut mau tidak mau Sosroningrat harus menikah lagi dengan putri seorang bangsawan. Hal itu berdampak pada R.A. Ngasirah yang berasal dari keluarga biasa, sehingga ia harus menerima keputusan tersebut dan rela untuk dipoligami.
Budaya poligami, pingitan, perjodohan dan berbagai perlakuan tidak adil lainnya dialami oleh mereka. Sistem adat yang syarat dengan ideologi patriarki membuat perempuan Jawa menjadi kaum yang tertindas.
Sehingga menyebabkan mereka harus terkurung dan terkucilkan dari dunia luar dan menerima apa yang diperintahkan kepada mereka.
Mereka tidak mengetahui bagaimanakah keadaan dunia luar yang akan menunggu mereka dan permasalahan-permasalahan yang mungkin saja dapat terpecahkan oleh ide-ide wanita yang cerdas dan dianggap sebelah mata oleh kaum lelaki ini.
Mengenai kedudukan sosial kaum perempuan Indonesia pada masa kolonial, ternyata sangat memprihatinkan.
Rendahnya status sosial perempuan tersebut diperburuk oleh adat, khususnya yang menyangkut budaya pingitan yang menutup ruang gerak mereka. Perlakuan lainnya adalah poligami yang dapat menyudutkan kedudukan kaum perempuan.
Dalam konstruksi budaya Jawa peranan perempuan hanya berkisar pada tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak) dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peranan perempuan adalah macak, masak dan manak.
Lebih jauh gambaran perempuan Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi.
Keadaan perempuan Indonesia, khususnya di Jawa sebelum adanya Kartini dapat dikatakan sedikit sekali gadis-gadis yang pergi ke sekolah.
Semua kebebasan yang dimiliki gadis-gadis hilang dan lenyap pada usia menjelang kawin, yaitu pada usia sepuluh atau dua belas tahun.
Ketika itu, menurut Idjah Chodijah dalam buku Rintihan Kartini, perempuan sangat terkekang dalam adat budaya Jawa yang harus dianut, hal tersebut memunculkan sebuah ketidakadilan gender yang berdampak pada perempuan seolah-olah perempuan tidak mempunyai peran penting dan hanya bisa melakukan kegiatan yang sesuai dengan peraturan budaya Jawa.
Baca Juga:
- Gamelan Jawa Mengarungi Gelombang Sejarah
- Edelweiss Jawa, Si Cantik Abadi yang Terancam Punah
- Tapa Puasa: Cara Masyarakat Jawa Kuno Melakoni Puasa Sebelum Islam Datang
Seperti surat yang Kartini tulis kepada Nyonya Van Kol pada Agustus 1901, yang dikutip dari buku Habis Gelap Terbitlah Terang.
“Pernikahan seharusnya menjadi panggilan hidup, kini berubah menjadi sumber penghidupan. Dan aduhai, banyak perempuan Jawa yang harus menikah dengan perjanjian yang menghinakan dan merendahkan dirinya sendiri. Di bawah perintah ayah, paman atau kakaknya, anak perempuan harus bersedia mengikuti seorang laki-laki yang sama sekali asing baginya, bahkan tidak jarang sudah beranak istri. Seorang perempuan harus patuh, tanpa perlu didengar pendapatnya. Seorang perempuan tidak perlu hadir dan tidak dibutuhkan persetujuannya ketika dinikahkan”.
Perasaan teriris dan miris yang Kartini rasakan menggugahnya untuk membangkitkan kesadaran perempuan Jawa khususnya dan perempuan Indonesia yang lainnya untuk bergerak membebaskan diri terutama dalam bidang pendidikan agar setara dengan laki-laki.
Kehidupan Kartini sendiri sebenarnya tidaklah sebebas sebagaimana saudaranya yang laki-laki.
Seorang laki-laki di lingkungan feodal dapat terbang jauh seperti burung yang keluar dari sangkarnya. Berbeda dengan kondisi wanita yang selalu dibatasi dengan batasan yang ketat. Hidup di lingkungan feodal membuat Kartini merasa terbatasi gerak-geriknya.
Kartini juga mengalami masa pingitan seperti tradisi kaum feodal pada umumnya ketika ia berusia 12 tahun.
Kartini berada dalam jeratan pingitan selama empat tahun, mulai tahun 1892 sampai 1896.
Atas desakan Nyonya Ovink akhirnya Kartini dikeluarkan dari pingitannya meskipun Kartini belum mempunyai calon suami sebagaimana adat feodal jika melepaskan putrinya dari pingitan harus ada laki-laki yang menikahinya.
Kartini dengan segala kemampuannya terus bekerja keras untuk menghilangkan sistem feodalisme yang kurang memanusiakan manusia dan dinilainya sebagai bentuk diskriminasi khususnya untuk perempuan.
Di Indonesia sendiri feminisme sudah berkembang sebelum kemerdekaan Indonesia melalui perjuangan Kartini yang mengusung tema emansipasi wanita.
Perjuangan Kartini secara tidak langsung membuat banyak perempuan terinspirasi olehnya dan mulai memunculkan gerakan-gerakan yang mengusung kesetaraan gender.
Dari sini dapat dilihat bahwa ketika kondisi perempuan memprihatinkan dan membutuhkan figur seseorang yang dapat mendobrak tradisi yang mengungkung perempuan saat itu, muncullah sosok Kartini yang diharapkan dapat menjunjung tinggi derajat perempuan dan menginspirasikan perempuan masa kini.