ilutsrasi orang memakai blankon
Sejak zaman pra sejarah, manusia indonesia sudah beradaptasi salah satunya dengan pakaian, sebagai pelindung badan dari panas, dingin, gangguan serangga, dan benda tajam.
Pakaian mempunyai fungsi keindahan dan juga melindungi bagian-bagian tertentu dan pakaian dapat memberikan kenyamanan.
Disamping itu pada zaman sekarang ini pakaian juga menunjukkan identitas, kedudukan seseorang. Bagi orang Jawa salah satu kelengkapan berbusana adalah tutup kepala atau Blangkon.
Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai kelengkapan dari pakaian tradisional Jawa.
Selain sebagai pelindung terhadap sinar matahari Blangkon juga mempunyai fungsi sosial yang menunjukkan martabat atau kedudukan sosial bagi pemiliknya.
Sebagian besar masyarakat Jawa menjadikan Blangkon sebagai simbol atau ciri khas dan konon dulunya digunakan sebagai pembeda antara kaum ningrat Kraton dengan masyarakat jelata yang hanya memakai Iket sebagai penutup kepala.
Masyarakat Jawa beranggapan bahwa kepala lelaki mempunyai arti penting, sehingga pelindung kepala lelaki sebagai penutup tubuh yang amat diutamakan, sehingga masyarakat Jawa kuno menggunakan Blangkon sebagai pakaian keseharian dan dapat dikatakan pakaian wajib.
Dulu blangkon bernama Iket, iket wujud dan kegunaannya sama dengan blangkon, akan tetapi masih berwujud kain motif batik tertentu, dan cara menggunakannya dililit dan di bentuk sedemikian rupa.
Menurut perkembangan nya blangkon menjadi simbol bagi kaum pria Jawa, dibalik bentuknya yang sederhana blangkon memiliki makna yang cukup tinggi, makna keindahan dari blangkon dapat dilihat dari motif dan bentuk dari blangkon itu sendiri, makna etika juga dapat dilihat dari keseharian masyarakat Jawa.
Pada era modernisasi sekarang ini banyak budaya, adat, dan segala sesuatunya masuk ke tanah Jawa, sehingga memberikan dampak terhadap kebiasaan, pola pikir, dan lain sebaginya, sehingga tidak bisa dipungkiri lagi terjadinya sedikit pergesekan budaya, dan itupun tidak dapat dihindari.
Blangkon adalah salah satu yang terkena dampaknya, dimana yang awalnya blangkon merupakan simbol kebanggaan dari kaum pria Jawa, tergeser oleh produk produk barat yang sangat cepat berkembang, sehingga jarang terlihat kaum pria Jawa memakai blangkon.
Pada jaman dahulu, blankon memang hanya dibuat oleh para seniman yang ahli dengan pakem (aturan) tentang iket. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya.
Adupun tujuan dibuatnya blangkon pola solo maupun yogyakarta adalah sebagai pelindung kepala dari sinar matahari, dan hujan; blangkon sebagai kelengkapan pakaian tradisional jawa dan sebagai wujud keindahan.
Tentang keindahan, kesabaran, dan ketelitian dalam Blangkon, Ranggajati Sugiyatno, pakar blangkon di Solo mencontohkan, sebuah blangkon yang bagus bias memiliki 14 hingga 17 wiru (lipatan) yang rapi di kanan-kiri.
Tanpa kesabaran dan ketelitian yang besar, sangat mustahil blangkon tersebut bisa diselesaikan. Keindahan blangkon juga bias dilihat dari kain batik selebar 105cm x 105cm sebagai bahan dasar blangkon.
Tidak ada catatan sejarah yang pasti akan asal muasal orang Jawa memakai iket sebagai penutup kepala. Iket telah tersebut dalam legenda Aji Saka, pencipta tahun Saka atau tahun Jawa, sekitar 20 abad yang lalu dimana Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar hanya dengan menggelar kain penutup kepala yang kemudian dapat menutupi seluruh tanah Jawa.
Selain itu, ada cerita-cerita bahwa iket adalah pengaruh budaya Hindu dan Islam. Para pedagang dari Gujarat yang keturunan Arab selalu mengenakan sorban, kain panjang yang dililitkan di kepala, yang kemudian menginspirasi orang Jawa memakai ikat kepala seperti mereka.
Cerita lain mengatakan, di satu waktu akibat peperangan kain menjadi barang yang sulit didapat sehingga petinggi keraton meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang lebih efisien yaitu blangkon.
Orang jawa tempo dulu menggunakan penutup kepala berupa blangkon, karena pada saat itu mereka menganggap bahwa dalam berpakaian adat jawa akan lebih terlihat pantas dan lebih berwibawa apabila pada bagian kepala menggunakan sebuah penutup kepala yaitu blangkon, memakai Blangkon membuat pria lebih berwibawa dan orang yang melihatpun akan mersa senang.
Pada perkembangannya, blangkon yang awalnya menjadi pelindung kepala yang mempunyai nilai filosofis, tinggi bagi orang Jawa, kepala, rambut dan wajah adalah mahkota, bagian yang terpenting dan terhormat dari tubuh manusia.
Baca Juga:
- Keris dan Perubahan Budaya bagi Masyarakat Jawa
- Kartini dan Kondisi Sosial Budaya Perempuan Jawa dalam Jerat Feodalisme
- 6 Rumah Adat Jawa Barat Beserta Filosofi Luhurnya
Kebanyakan orang Jawa dahulu memanjangkan rambutnya namun tidak membiarkannya tergerai acak-acakan begitu saja. Rambut biasanya digelung atau diikat dengan ikatan kain, yang saat ujung ikatan kain tersebut diikat dibelakang kepala bermakna filosofis berupa peringatan untuk mampu mengendalikan diri.
Pria Jawa jaman dahulu hanya membiarkan rambutnya tergerai hanya saat berada di rumah atau dalam sebuah konflik, misal perang atau berkelahi.
Membuka ujung ikatan kain di belakang kepala (atau membuka tutup kepala) yang berakibat tergerainya rambut adalah bentuk terakhir luapan emosi yang tak tertahan. Jadi iket atau blangkon adalah perwujudan pengendalian diri.
Saat agama Islam masuk ke tanah Jawa, blankon dikaitkan dengan nilai transedental. Di bagian belakang blangkon pasti ada 2 ujung kain yang terikat, yang satu ujung kain merupakan simbol dari syahadat Tauhid dan satu ujung lain adalah syahadat Rasul dan terikat menjadi satu bermakna menjadi syahadatain.
Setelah terikat, kemudian dipakai di kepala, di bagian yang bagi orang Jawa adalah bagian terhormat, artinya syahadat harus ditempatkan paling atas. Pemikiran apapun yang keluar dari kepala harus dilingkupi oleh sendi-sendi Islam.
Secara umum, terdapat jenis blangkon, yaitu yang mempunyai mondolan yang berarti tonjolan dan trepes yang berarti rata. Pada awal iket dipergunakan sebagai tutup kepala, banyak pria Jawa yang berambut panjang sehingga harus digelung terlebih dahulu sebelum ditutup dengan iket.
Gelung rambut ini lah yang kemudian mondol, menonjol, dan disembunyikan dibawah iket. Rambut dalam nilai filosofi orang Jawa yang sudah disebutkan diatas adalah representasi perasaan.
Rambut dibawah iket adalah perasaan yang disembunyikan, yang harus dijaga rapat-rapat, menjaga perasaan sendiri demi menjaga perasaan orang lain.
Sebagai bagian dari taktik devide et impera, VOC menengahi dan memanfaatkan konflik internal kerajaan Mataram. Setelah ditandatanganinya perjanjian Gianti (1755) Kesultanan Mataram terbagi menjadi dua yaitu Yogyakarta dan Surakarta.
Masyarakat di kedua daerah ini kemudian tumbuh dengan caranya sendiri-sendiri. Salah satunya adalah pria Jogya masih berambut panjang dan menggelung rambutnya, sementara pria Surakarta karena lebih dekat dengan orang-orang Belanda terlebih dahulu mengenal cara bercukur.
Walaupun kemudian orang mulai banyak berambut pendek dan menggunakan blangkon (tidak lagi iket), untuk sebuah pembedaan maka dibuatlah mondholan yang dijahit langsung pada blangkon dari Jogja. Itu mengapa blankon dengan mondolan dapat ditemukan di Jogja, sementara yang trepes ditemukan di Solo.